Sesungguhnya siapa saja yang memperhatikan kondisi kebanyakan manusia saat ini, niscaya melihat suatu perkara yang sangat mengherankan. Dia akan melihat kebanyakan manusia menaruh perhatian yang berlebihan kepada penampilan lahiriah, memperindah dan mempercantiknya dengan berbagai macam aksesoris keindahan dan kecantikan, namun pada saat yang sama, dia akan melihat kelalaian dan keteledoran luar biasa terhadap keindahan, kebersihan dan kesucian batin.
Berapa banyak waktu, tenaga dan energi yang dihabiskan untuk memperindah urusan-urusan lahiriyah, dengan melupakan perbaikan hati dan kesucian batin, sampai pada tingkat “tiada kemauan dan gairah” kecuali dalam rangka keindahan penampilan dan gaya, hingga ungkapan Allah subhanahu wata’aala tentang kaum munafiq benar-benar layak untuk mereka, sebagaimana firman-Nya,
وَإِذَا رَأَيْتَهُمْ تُعْجِبُكَ أَجْسَامُهُمْ وَإِن يَقُولُواْ تَسْمَعْ لِقَوْلِهِمْ كَأَنَّهُمْ خُشُبٌ مُّسَنَّدَةٌ يَحْسَبُونَ كُلَّ صَيْحَةٍ عَلَيْهِمْ هُمُ العدو فاحذرهم قاتلهم الله أنى يُؤْفَكُونَ
Demikianlah kondisi sekelompok umat manusia yang penampilan lahiriahnya sangat indah dan ungkapan-ungkapan kata-katanya sangat manis, namun semua itu tidak mengeluarkan mereka dari keberadaan mereka sebagai onggokan kayu yang tersandar, tidak berguna. Itulah pemandangan yang tidak berarti, manusia yang tidak punya akal nurani. Yang demikian itu adalah kondisi yang sangat rendah yang tidak mungkin seorang yang beriman rela untuk dirinya. Bahkan, iman seorang beriman tidak akan sempurna dan tidak akan bisa benar kecuali jika ia memperbaiki batinnya, membersihkan dan memperindah hatinya. Sebab, keindahan dan kecantikan lahiriyah sama sekali tidak berguna bagi seseorang manakala batin dan hatinya busuk dan kotor.
Allah subhanahu wata’aala berfirman sebagai bantahan atas sekelompok umat manusia yang terlena dengan keindahan kondisi dan kecantikan penampilan lahiriyah mereka di mana mereka mengira bahwa itu adalah tanda baiknya akhir kemudian mereka. Firman Allah,
وَكَمْ أَهْلَكْنَا قَبْلَهُمْ مِّن قَرْنٍ هُمْ أَحْسَنُ أثاثا وَرِءْياً
Di dalam ayat ini Allah subhanahu wata’aala menginformasikan bahwasanya Dia telah membinasakan beberapa kelompok manusia yang sebelumnya mereka adalah merupakan manusia yang paling bagus postur tubuhnya, paling banyak harta kekayaannya dan paling tampan parasnya, namun semua apa yang mereka nikmati itu tidak berguna dan tidak dapat menyelamatkan mereka.
أَفَلَمْ يَسِيرُواْ فِى الأرض فَيَنظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عاقبة الذين مِن قَبْلِهِمْ كَانُواْ أَكْثَرَ مِنْهُمْ وَأَشَدَّ قُوَّةً وَءاثَاراً فِى الأرض فَمَآ أغنى عَنْهُمْ مَّا كَانُواْ يَكْسِبُونَ
Jadi, keindahan batin dan keselamatan hati itu adalah dasar dan pondasi keberuntungan di dunia dan di hari Kiamat kelak.
Allah subhanahu wata’aala berfirman,
يابنى ءَادَمَ قَدْ أَنزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يوارى سوءاتكم وَرِيشًا وَلِبَاسُ التقوى ذلك خَيْرٌ ذلك مِنْ ءايات الله لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ
Pada ayat tadi Allah menjelaskan bahwa pakaian takwa dan berhias dengan takwa itu lebih baik daripada keindahan penampilan lahir. Memperindah dan mempercantik diri dengan takwa tidak mungkin dapat direalisasikan oleh seseorang kecuali dengan memperbaiki, mensucikan dan memperindah hatinya, karena takwa itu tempat di dalam hati. Allah subhanahu wata’aala berfirman,
ذلك وَمَن يُعَظّمْ شعائر الله فَإِنَّهَا مِن تَقْوَى القلوب
“Demikianlah (perintah Allah). Dan
barangsiapa mengagungkan syi’ar-syi’ar Allah, maka sesungguhnya itu timbul dari
ketakwaan hati.”
(QS. Al-Hajj: 32).Pada ayat itu Allah subhanahu wata’aala menjadikan penghormatan dan pengagungan terhadap syi’ar-syi’ar agama dan ajaran-ajarannya sebagai bukti adanya takwa di dalam hati seseorang.
Diriwayatkan di dalam Shahih Muslim, bersumber dari Abi Dzar radhiyallahu ‘anhu, beliau menuturkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alahi wasallam bersabda, “Allah subhanahu wata’aala berfirman,
يَا عِبَادِيْ، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَحِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَتْقَى قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا زَادَ ذَلِكَ فِيْ مُلْكِيْ شَيْئًا. يا يَا عِبَادِيْ، لَوْ أَنَّ أَوَّلَكُمْ وَآخِرَكُمْ وَإِنْسَكُمْ وَحِنَّكُمْ كَانُوْا عَلَى أَفْجَرِ قَلْبِ رَجُلٍ وَاحِدٍ مِنْكُمْ مَا نَقَصَ ذَلِكَ مِنْ مُلْكِيْ شَيْئًا
Hadits ini menjelaskan bahwa dasar ketakwaan adalah ketakwaan hati, dan demikian pula bahwa dasar kedurhakaan adalah kedurhakaan hati. Dan di dalam hadits tersebut Nabi shallallahu ‘alahi wasallam juga mengaitkan takwa dan kedurhakaan dengan tempatnya, yaitu hati. Bahkan di dalam hadits lain Nabi shallallahu ‘alahi wasallam secara tegas menyatakan seperti itu, sebagaimana diriwayatkan oleh Muslim dari hadits Abi Hurairah radhiyallahu ‘anhu. Ia menuturkan, “Nabi shallallahu ‘alahi wasallam bersabda,
اَلتَّقْوَى هَاهُنَا، اَلتَّقْوَى هَاهُنَا، اَلتَّقْوَى هَاهُنَا
Nabi shallallahu ‘alahi wasallam menunjuk ke dadanya, karena di dalam dada terdapat hati yang merupakan tempat bagi ketakwaan dan di dalam hati terdapat akarnya.
No comments:
Post a Comment