assalamualaikum warahmatulahi wabarkatu........
segala puju syukur hamba panjatkan kepada Allah SWT, karena atas limpahan rahmat-Nyalah hamba bisa kembali menyajikan informasi lewat blog ini dan tak lupapula hamba bershalawat atas Nabi Muhammad SAW yang telah membawa kehidupan umat manusia ke jalan Allah SWT.
Pada kesempatan ini hamba menyajikan tulisan yang membahas bolehkah shalat memakai celana panjang.
Pada asalnya
hukum memakai pakaian apapun dibolehkan dalam Islam, kecuali pakaian-pakaian
tertentu yang termasuk dalam dalil-dalil yang menunjukkan pelarangan. Selain
itu Islam tidak menetapkan model pakaian tertentu untuk shalat. Selama pakaian
tersebut memenuhi syarat maka boleh dipakai untuk shalat, apapun modelnya.
Dengan
demikian, yang perlu kita pegang adalah bahwa hukum asal memakai celana panjang
adalah mubah. Namun para ulama memang membahas keabsahan shalat orang yang saat
shalat dengan memakai celana panjang pada 2 keadaan berikut:
1. Celana panjang yang dipakai masih menampakkan warna kulit dan
menampakkan bentuk tubuh (ketat)
Pada kondisi
ini para ulama ijma (bersepakat) bahwa hukumnya haram dan shalatnya
tidak sah. Sebagaimana yang dikatakan oleh Imam An Nawawi, ulama besar mahdzab
Syafi’i, beliau berkata:
لو ستر بعض عورته بشيء من زجاج بحيث ترى البشرة منه لم
تصح صلاته بلا خلاف
“Jika
sebagian aurat sudah tertutupi dengan sesuatu yang
berbahan kaca, sehingga masih terlihat warna kulitnya, maka tidak sah shalatnya
tanpa ada perbedaan pendapat di antara ulama” (Al Majmu’, 3/173)
Bahkan jika
warna kulit hanya terlihat dengan samar, tetap tidak sah shalatnya. Dijelaskan
oleh Ibnu Qudamah, ulama besar mahdzab Hambali, beliau berkata:
والواجب الستر بما يستر لون البشرة فإن كان خفيفا يبين
لون الجلد من ورائه فيعلم بياضه أو حمرته لم تجز الصلاة فيه لأن الستر لا يحصل
بذلك
“Menutup
aurat sampai warna kulit tertutupi secara sempurna, hukumnya wajib. Jika warna
kulit masih tampak oleh orang dibelakangnya namun samar, yaitu masih bisa
diketahui warna kulitnya putih atau merah, maka tidak sah shalatnya. Karena
pada kondisi demikian belum dikatakan telah menutupi aurat” (Al Mughni,
1/651)
2. Celana panjang yang dipakai telah menutupi warna kulit secara
sempurna namun masih menampakkan bentuk tubuh (ketat)
Pada kondisi
ini terjadi perbedaan pendapat diantara para ulama. Sebagian ulama
mengatakan shalatnya tidak sah. Diantaranya Ibnu Hajar Al Asqalani, ulama besar
mahdzab Syafi’i, beliau berkata:
عن أشهب، فيمن اقتصر على الصلاة في السراويل مع القدرة:
يعيد في الوقت، إلا إن كان صفيقاً
“Aku
mendengar ini dari Asyhab, bahwa orang yang mencukupkan diri shalat dengan
memakai celana panjang padahal ia sanggup memakai pakaian yang tidak ketat, ia
wajib mengulang shalatnya pada saat itu juga, kecuali jika ia tidak tahu malu” (Fathul
Bari, 1/476)
Tidak sahnya
shalat orang yang memakai pakaian ketat juga merupakan pendapat Syaikh Ibnu
Baz, mantan ketua Komite Fatwa Saudi Arabia, ketika ditanya tentang hal ini
beliau menjawab: “Jika celana pantalon ini menutupi aurat dari pusar sampai
seluruh paha laki-laki, longgar dan tidak ketat, maka sah shalatnya.
Namun lebih baik lagi jika di atasnya dipakai gamis yang dapat menutupi hingga
seluruh pahanya, atau lebih baik lagi sampai setengah betis, karena yang
demikian lebih sempurna dalam menutupi aurat. Shalat memakai sarung lebih baik
daripada memakai celana panjang jika tidak ditambah gamis. Karena sarung lebih
sempurna dalam menutupi aurat” (Majmu’ Fatawa Ibnu Baz , 1/68-69 p://, httwww.ibnbaz.org.sa/mat/2480 )
Dalam
penjelasan Syaikh Ibnu Baz ini juga ditegaskan bolehnya shalat dengan
memakai celana panjang tanpa ditambah gamis atau sarung, asalkan tidak ketat.
Namun
sebagian ulama berpendapat shalatnya tetap sah jika ia telah menutupi warna
kulit dengan sempurna walaupun bentuk tubuh masih terlihat (ketat).
Sebagaimana pendapat Imam An Nawawi, bahkan beliau membantah ulama yang
berpendapat shalatnya tidak sah:
فلو ستر اللون ووصف حجم البشرة كالركبة والألية ونحوهما
صحت الصلاة فيه لوجود الستر ، وحكى الدارمي وصاحب البيان وجها أنه لا يصح إذا وصف
الحجم ، وهو غلط ظاهر
“Jika
warna kulit telah tertutupi secara sempurna dan bentuk tubuh semisal paha dan
daging betis atau semacamnya masih nampak, shalatnya sah karena aurat telah
tertutupi. Memang Ad Darimi dan penulis kitab Al Bayan menyampaikan argumen
yang menyatakan tidak sahnya shalat memakai pakaian yang masih menampakkan
bentuk tubuh. Namun pendapat ini jelas-jelas sebuah kesalahan” (Al
Majmu’, 3/173)
Demikian
juga pendapat Ibnu Qudamah, beliau menyatakan sahnya shalat memakai pakaian
yang ketat namun beliau tidak menyukai orang yang melakukan hal tersebut:
وأن كان يستر لونها ويصف الخلقة جازت الصلاة لأن هذا لا
يمكن التحرز منه وإن كان الساتر صفيقا
“Jika
warna kulit sudah tertutupi dan bentuk tubuh masih nampak, shalatnya sah.
Karena hal tersebut tidak mungkin dihindari (secara sempurna). Namun orang yang
shalat memakai pakaian ketat adalah orang yang tidak tahu malu” (Al
Mughni, 1/651)
Sebagian
ulama juga berpendapat shalatnya sah namun pelakunya berdosa dikarenakan memakai
baju ketat. Sebagaimana pendapat Syaikh Shalih Fauzan Al Fauzan hafizhahullah,
ulama besar di Saudi Arabia saat ini, beliau berkata: “Baju ketat yang masih
menampakkan bentuk tubuh wanita, baju yang tipis dan terpotong pada beberapa
bagian, tidak boleh memakainya. Baju ketat tidak boleh digunakan oleh laki-laki
maupun wanita, terutama bagi wanita, karena fitnah wanita lebih dahsyat. Adapun
keabsahan shalatnya tergantung bagaimana pakaiannya. Jika pakaian ketat ini
dipakai seseorang untuk shalat, dan telah cukup untuk menutupi auratnya, maka
shalatnya sah karena aurat telah tertutup. Namun ia berdosa karena memakai
pakaian ketat. Sebab pertama, karena dengan pakaian ketatnya, ia telah
meninggalkan hal yang disyariatkan dalam shalat, ini terlarang. Sebab kedua,
memakai baju ketat dapat mengundang fitnah karena membuat orang lain memalingkan
pandangan kepadanya, apalagi wanita.” (Muntaqa Fatawa Shalih Fauzan,
3/308-309)
Dari
beberapa penjelasan diatas, dapat kita simpulkan bahwa letak perbedaan pendapat
di antara para ulama adalah dalam memutuskan apakah memakai pakaian ketat dalam
shalat itu sudah termasuk menutup aurat atau tidak. Dengan demikian ini adalah
perkara khilafiyyah ijtihadiyyah, yang masing-masing pendapat dari ulama
tersebut harus dihormati.
Namun yang
paling baik adalah menghindari hal yang diperselisihkan dan mengamalkan hal
yang sudah jelas bolehnya. Sehingga memakai pakaian yang longgar dan lebar
hingga tidak menampakkan warna kulit dan tidak menampakkan bentuk tubuh adalah
lebih utama.
Kemudian
perlu digarisbawahi, seluruh penjelasan di atas berlaku bagi setiap orang yang memiliki
kemampuan dalam pakaian, ia berkecukupan dalam berpakaian dan mampu
mengusahakan untuk memiliki pakaian yang longgar dan tidak ketat. Adapun orang
yang tidak berkemampuan untuk berpakaian yang longgar, misalnya orang miskin
yang hanya memiliki sebuah pakaian saja, atau orang yang berada dalam kondisi
darurat sehingga tidak mendapatkan pakaian yang longgar, maka shalatnya sah dan
ia tidak berdosa. Berdasarkan hadits dari Jabir bin Abdillah yang menceritakan
dirinya ketika hanya memiliki sehelai kain untuk shalat, maka Rasulullah Shallallahu’alaihi
Wasallam bersabda:
إِنْ كَانَ الثَّوْبُ وَاسِعاً فَالْتَحِفْ بِهِ وَإِنْ
كَانَ ضَيِّقاً فَأتَّزِرْ بِهِ
“Jika
kainnya lebar maka gunakanlah seperti selimut, jika kainnya sempit maka
gunakanlah sebagai sarung” (HR. Bukhari no.361)
Allah Ta’ala
juga berfirman:
فَاتَّقُوا اللَّهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
“Bertakwalah
kalian semampu kalian” (QS. At-Taghabun 16 )
semoga tulisan ini bermanfaat,hindarilah hal-hal yang masih diperselisihkan...
sumber :
Penulis:
Yulian Purnama
Murajaah: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
Murajaah: Ustadz Kholid Syamhudi, Lc.
No comments:
Post a Comment